PERKEMBANGAN TEORI ADMINISTRASI
DAN TEORI BEHAVIORISME DALAM ADM
1. Perkembangan teori ADM
Teori Administrasi ini
dikembangkan oleh Henry Fayol (1841-1925) : seorang industrialis asal Prancis
tahun 1916 menulis sebuah buku “Administration Industrtrelle et generale”
dierjemahkan dalam bahasa Inggris 1925 dan baru dipublikasikan di Amerika 1940.
Pengalaman dan penelitian Henry
Fayol dalam mengembangkan ilmu Administrasi
1.Upaya yang dilakukan oleh Henry Fayol dalam
usaha menyelamatkan industry pertambangan yang mengalami kemunduran.
2.Alasan diperlukan latihan dan teori Administrasi,
serta upaya yang dilakukan oleh Henry Foyal untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
3.Alasan diperlukan pengajaran Administrasi yang
bersigat umum, menurut Henry Fayol.
4.Alasan Henry Fayol menganjurkan latihan
Administrasi bagi jabatan pimpinan.
5.Upaya yang dianjurkan oleh Henry Fayol untuk
mengembangkan teori administrasi.
Hasil
penelitian Henry Fayol
1.Ada 6 kegiatan dari suatu badan usaha, dimana
administrasi merupakan bagian dari kegiatan itu
2.Adanya unsur-unsur administrasi, sebagai pedoman kegiatan dari suatu badan usaha.
3.Fayol menerapkan 14 prinsip-prinsip umum dari
Administrasi
4.Teori Administrasi yang lain, misalnya:
1.One head for one body
2.Many brains to help
3.Unity of command and unity of direction,
5.Teori komunikasi yang diperkenalkan oleh Fayol
yang disebut jalan Pintas.
TEORI BEHAVIORISME
Teori kaum Behavioris lebih
dikenal dengan nama Teori Belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil
belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh
lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau
jelek, rasional atau emosional. Behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana
perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Memandang individu
sebagai makhluk reaktif yang membentuk perilaku mereka. Ciri dan teori ini
adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis,
menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon,
menekankan perananan linkungan,
mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil
belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Aristoteles berpendapat bahwa
pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, seperti sebuah meja lilin
yang siap dilukis oleh pengalaman. Menurut John, pada waktu lahir manusia tidak
mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah
satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan.
Thorndike dan Watson, kaum
behaviorisme berpendirian, organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial dan psikologis, perilaku adalah hasil pengamalan dan perilaku
digerakan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan
mengurangi penderitaan.
MENURUT
PARA AHLI BEHAVIORISME (BELAJAR)
a. Edward Lee Thourndike (1874-1949)
Menurut Thorndike belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang
disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “Connectionism”.
Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila
pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar sentuh.
Thorndike
menemukan hukum-hukum :
-Hukum kesiapan (Law of Readiness)
Jika
suatu organisme di dukung oleh kesiapan
yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan
menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat.
-Hukum latihan
Semakin
sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin
kuat.
-Hukum akibat
Hubungan
stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung
diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
b.
Ivan Petrovich Pavlo (1849-1936)
Teori pelaziman klasik adalah
memasangkan stimuli yang netral atau stimuli terkondisi dengan stimuli tertentu
yang tidak terkondisikan, yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan
ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respons
terkondisikan.
Pavlo mengadakan
percobaan laboratories terhadap anjing. Belajar menurut teori ini adalah suatu
proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan
reaksi. Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan
dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara
otomamtis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.
c. Skinner (1904-1990)
Skinner
menganggap reward dan rierforcement merupakan factor penting dalam belajar.
Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah
laku. Pada teori ini guru member penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga
anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operans Conditioning adalah
suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku
tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.
Prinsip belajar
Skinners adalah:
-Hasil belajar harus segera diberitahukan pada
siswa jika salah di betulkan jika benar diberi penguat.
-Proses belajar harus mengikuti irama dari yang
belajar. Materi pelajaran dugunakan sebagai system modul.
-Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan
aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah
untuk menghindari hukuman.
-Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi
hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio
reinforce.
-Dalam pembelajaran digunakan shapping.
d. Albert Bandura (1925- sekarang)
Teori belajar Bandura adalah
teori belajar social atau kognitif social serta efikasi diri yang menunjukkan pentingnya
proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan emosi orang lain. Teori bandura
menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi tingkah laku timbal balik
yang berkesinambungan antara kognitine perilaku dan pengaruh lingkungan.
Faktor-faktor yang berproses dalam observasi adalah perhatian, mengingat, produksi
motorik, motivasi.
Indonesia
terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik
dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar
benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan
Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia,
melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai
juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia
dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia
dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa
kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme
politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya
di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat
dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan
kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis
produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang
“mampir”.
Penggunaan uang
yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian
uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang
terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena
perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional.
Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan
ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan
ramainya pelabuhan.Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan
di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu
bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga
lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia
secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam
perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian
Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde
lama, orde baru, dan masa reformasi.
SEBELUM KEMERDEKAAN
Sebelum
merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa
periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis,
Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di
Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian
berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih
tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya
perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan
perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia Belanda (sebutan
untuk Indonesia saat itu).
Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC)
Belanda yang saat itu menganut
paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda
melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk
menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi
perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di
Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
1. a.Hak mencetak uang
2. b.Hak mengangkat dan
memberhentikan pegawai
3. c.Hak menyatakan perang dan
damai
4. d.Hak untuk membuat angkatan
bersenjata sendiri
5. e.Hak untuk membuat
perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan
keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak
berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.
Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor
sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan
jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas
komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup
penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte
leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak
hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga
menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya
pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran
Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi
peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang
memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan
memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda,
dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu
juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi
penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton,
melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.
Namun,
berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam
mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan
hasil bumi. Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan
sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap
digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran
sampai tahun 1870-an.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan
Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain
disebabkan oleh :
a.Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar,
terutama perang Diponegoro.
b.Penggunaan tentara sewaan
membutuhkan biaya besar.
c.Korupsi yang dilakukan pegawai
VOC sendiri.
d.Pembagian dividen kepada para
pemegang saham, walaupun kas defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche
Republiek).
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain
karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh
Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat
ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh
blokade Inggris di Eropa.
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di
Hindia Belanda.
Pendudukan Inggris
(1811-1816)
Inggris
berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan
oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah
berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil
juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan
memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India.
Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk
dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari
negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang
berkembang di Eropa, antara lain :
a.Pendapat Adam Smith bahwa
tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang menghasilkan benda konkrit dan
dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak produktif menghasilkan jasa
dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Inggris
menginginkan tanah jajahannya juga meningkat kemakmurannya, agar bisa membeli
produk-produk yang di Inggris dan India sudah surplus (melebihi permintaan).
b.Pendapat Adam Smith bahwa
salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan (oleh
Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap hasil produksi.
c.The quantity theory of money
bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga dipengaruhi oleh jumlah uang yang
beredar.
Akan tetapi,
perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan
bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung
di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
a.Masyarakat Hindia Belanda pada
umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas
tanah yang kena pajak.
b.Pegawai pengukur tanah dari
Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
c.Kebijakan ini kurang didukung
raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi jabatan
secara turun-temurun.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas
inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi
yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan
pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila,
tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan
penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan
dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini,
seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan
berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan
penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman
komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk
kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain
dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk
melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan–dan memotivasi para
pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai
dengan hasil produksi yang masuk gudang).
Bagi masyarakat
pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka,
apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya
adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang
pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di
pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda,
ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang
mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan
menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang
melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya,
dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa
tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan
kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja,
tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar.
Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai
lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda
sebagai kapitalis.
Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan
dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke
arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah
kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang
antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75
tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal
ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain
terlihat pada :
a.Keberadaan pemerintah Hindia
Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta
sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap
tanah.
b.Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas
ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar
dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
c.Laissez faire laissez passer,
perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda
masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang
pada umumnya tidak diperlakukan layak.
Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pemerintah
militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi
mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya,
terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat.
Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan,
karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak
jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor
macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan
impor.
Seperti ini lah sistem sosialis
ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai
kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang
Pasifik.
ORDE LAMA
Masa Pasca Kemerdekaan
(1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada
masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi,
disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali.
Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang
yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang
pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada
tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East
Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang
dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang
kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang
Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar
mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Adanya blokade
ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan
luar negri RI. Kas negara kosong. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir.Ø Surachman
dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
Upaya menembus blokade dengan
diplomasi beras ke India, mangadakanØ kontak dengan perusahaan swasta Amerika,
dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan
Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperolehØ kesepakatan
yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu :
masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan
administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947.
Rekonstruksi dan Rasionalisasi
Angkatan Perang (Rera) 1948 mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke
bidang-bidang produktif.
Kasimo Plan yang intinya
mengenai usaha swasembada pangan denganØ beberapa petunjuk pelaksanaan yang
praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab
Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini
disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan
prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori
mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha
pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi,
terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi
perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950,
untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet
Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir
nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi
impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir
pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar
nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha
ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa
bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan
fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba
(kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu
penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha
non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan
pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang
berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit
dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas
hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih
perusahaan-perusahaan tersebut.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat
dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi
terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme
(segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan
membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi
(Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil
pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia,
antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai
berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi
(Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia.
Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada
13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang
rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka
tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka
inflasi.
Kegagalan-kegagalan
dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek
mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik
konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga
salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang
bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam
politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
ORDE BARU
Pada awal orde
baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama.
Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan
keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi
mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per
tahun.
Setelah melihat
pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha
pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak
memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka
sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori
Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas.
Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan
menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan
kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah
mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan
ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur
pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan,
kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda,
penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan
pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan
yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya, pada
tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan,
perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan
dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat.
Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah
kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak
negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber
daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar
kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar
negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang
sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan
ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil.
Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara
fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis
yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang
paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah
dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama
ekonomi.
ORDE REFORMASI
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan
presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi,
dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya
digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak
untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran
utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan
pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN.
Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan
tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik
dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi,
karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini
juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum
ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi
membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia,
dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan
kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau
dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh
naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial.
Kebijakan yang
ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan
pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah
satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November
2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes,
investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini
mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan
bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi
undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat
kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector
riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja
Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu
sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain
pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.