KEMISKINAN
PENGERTIAN KEMISKINAN
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala.
Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan,
tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan
modern pada masakini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan
kesehatan, dan kemudahan- kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya
dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara
maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan
di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul
di Eropah. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga
kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah,
sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di
permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti
prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah
kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada
tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di
dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat
telah banyak memberi bantuan kepada negara- negara lain. Namun, di balik
keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah
penduduknya tergolong miskin.
Indonesia sebagai negara
yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang
tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah
penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta
jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat
banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis
ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah
penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni
kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah
terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang
terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan
"buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang
ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat
tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia,
hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar
ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang
melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak
dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan
politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya
interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada
terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar
rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang.
Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan
dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan
kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil
keputusan.
Kemiskinan
dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut,
kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk
golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya
berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan,
pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif
sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural
berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok
masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha
dari fihak lain yang membantunya.
Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata
kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui
pendekatan sosial masih sulit mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari
indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga
pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara
ini yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan
adalah pendekatan pengeluaran.
Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis
kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per
bulan dan penduduk miskin perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan.
Dengan perhitungan uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi
setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan
kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan, pendidikan,
transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila dibanding
dengan angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246
per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk
perdesaan.
Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai definisi
dan klasifikasi kemiskinan ini. Dalam bukunya The Affluent Society, John
Kenneth Galbraith melihat kemiskinan di Amerika Serikat terdiri dari tiga
macam, yakni kemiskinan umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar
ekonomi lainnya melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif,
kemiskinan musiman (cyclical), dan kemiskinan individu.
Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau
negara yang mengalami kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia
dinilai sebagai penyebab keadaan itu. Kemiskinan musiman atau periodik dapat
terjadi manakala daya beli masyarakat menurun atau rendah. Misalnya
sebagaimana, sekarang terjadi di Indonesia. Sedangkan, kemiskinan individu
dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau mental,
anak-anak yatim, kelompok lanjut usia.
Penanggulangan Kemiskinan
Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak.
Teori ekonomi mengatakan bahwa untak memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat
dilakukan peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal
investasi, dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka
diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya
tidak semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan?
Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di
berbagai negara. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat program
penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar
negara bagian, memperbaiki kondisi permukiman perkotaan dan perdesaan,
perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk para pemuda, penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa, dan pemberian bantuan kepada kaum
miskin usia lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut
terlibat membantu kaum miskin melalui organisasi kemasyarakatan, gereja, dan
lain sebagainya.
Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah
banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan
kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani
program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi
yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program
Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat
dalam berbagai kegiatan.
Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan
kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan
masyarakat dengan mendudukan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui
partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif ini dari masyarakat miskin sebagai
kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut
serta menentukan program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan,
menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari
program, apakah akan terus berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada tekad
dan komitmen masyarakat sendiri.
JENIS-JENIS KEMISKINAN DAN
INDIKATORNYA
Kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan bagi negara
berkembang, bahkan negara-negara maju pun mengalami kemiskinan walaupun tidak
sebesar negara Dunia Ketiga. Secara umum, jenis-jenis kemiskinan dapat dibagi
menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Pertama, kemiskinan
absolut, di mana dengan pendekatan ini diidentifikasi jumlah penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. Kedua, kemiskinan relatif, yaitu
pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan
pendapatan. Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif bersifat
dinamis dan tergantung di mana seseorang tinggal.
Untuk lebih mengetahui secara pasti tingkat kemiskinan suatu
masyarakat maka diciptakan indikator kemiskinan atau garis kemiskinan. Di
Indonesia, garis kemiskinan BPS menggunakan dua macam pendekatan, yaitu
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count
Index. Selain itu, terdapat garis kemiskinan lainnya, yaitu garis kemiskinan
Sajogyo dan garis kemiskinan Esmara. Sajogyo mendefinisikan batas garis
kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Kelemahan
dari metode ini adalah hanya menggunakan acuan satu harga komoditi dan porsinya
dalam anggaran keluarga, bahkan dalam keluarga miskin, menurun secara cepat. Berdasarkan
kelemahan tersebut Esmara mencoba untuk menetapkan suatu garis kemiskinan pedesaan
dan perkotaan yang dipandang dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang
dan jasa esensial, seperti yang diungkapkan secara berturut-turut dalam
Susenas.
Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan, menurut Sharp et al., dapat disebabkan oleh
ketidaksamaan pola. kepemilikan sumber daya, perbedaan dalam kualitas sumber
daya manusia dan disebabkan oleh perbedaan akses dalam modal. Sedangkan
lingkaran setan kemiskinan versi Nurkse sangat relevan dalam menjelaskan
fenomena kemiskinan yang terjadi di negara-negara terbelakang. Menurutnya
negara miskin itu miskin karena dia miskin (a poor country is poor because it
is poor).
Menurut Thorbecke, kemiskinan dapat lebih cepat tumbuh di
perkotaan dibandingkan dengan perdesaan karena, pertama, krisis cenderung
memberi pengaruh terburuk kepada beberapa sektor ekonomi utama di wilayah
perkotaan, seperti konstruksi, perdagangan dan perbankan yang membawa dampak
negatif terhadap pengangguran di perkotaan; kedua, penduduk pedesaan dapat
memenuhi tingkat subsistensi dari produksi mereka sendiri. Hasil studi atas 100
desa yang dilakukan oleh SMERU Research Institute memperlihatkan bahwa
pertumbuhan belum tentu dapat menanggulangi kemiskinan, namun perlu pertumbuhan
yang keberlanjutan dan distribusi yang lebih merata serta kemudahan akses bagi
rakyat miskin.
Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Strategi penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Di Jepang, solusi yang diterapkan adalah dengan menerapkan pajak
langsung yang progresif atas tanah dan terbatas pada rumah tangga petani pada
lapisan pendapatan yang tinggi, sedangkan Cina melakukannya melalui pembentukan
kerangka kelembagaan perdesaan dengan kerja sama kelompok dan brigades di
tingkat daerah yang paling rendah (communes). Di sisi lain, solusi
pemberantasan kemiskinan di Taiwan melalui mobilisasi sumber daya dari sektor pertanian
dengan mengandalkan mekanisme pasar.
Selain strategi di atas, ada juga Model Pertumbuhan Berbasis
Teknologi atau Rural-Led Development yang menyoroti potensi pesatnya
pertumbuhan dalam sektor pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan
kemungkinan sektor pertanian menjadi
sektor yang memimpin. Di Indonesia, salah satu strategi
penanggulangan kemiskinan ditempuh melalui pemberdayaan partisipatif masyarakat
melalui P2KP. Sasaran dari program ini adalah kaum miskin perkotaan yang sangat
rentan terhadap krisis dibandingkan dengan masyarakat perdesaan.
Pertumbuhan versus Pemerataan
Pada beberapa kasus memang dijumpai adanya studi empiris
yang mendukung hipotesis kurva U terbalik (hipotesis Kuznets), namun hal ini
perlu disikapi hati-hati tergantung dari jenis data yang dipakai, apakah data
silang atau runut waktu. Hal ini penting karena keduanya memberikan kesimpulan
yang berbeda.
Ketimpangan Distribusi Pendapatan:
Indikator dan Trend
Pada umumnya ada 3 macam indikator distribusi pendapatan
yang sering digunakan dalam penelitian. Pertama, indikator distribusi
pendapatan perorangan. Kedua, kurva Lorenz. Ketiga, koefisien gini.
Masing-masing indikator tersebut mempunyai relasi satu sama lainnya. Semakin
jauh kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin besar ketimpangan distribusi
pendapatannya. Begitu juga sebaliknya, semakin berimpit kurva Lorenz dengan
garis diagonal, semakin merata distribusi pendapatan. Sedangkan untuk koefisien
gini, semakin kecil nilainya, menunjukkan distribusi yang lebih merata.
Demikian juga sebaliknya.
Studi empiris menunjukkan bahwa bentuk kurva Lorenz untuk
kasus negara berkembang pada umumnya semakin menjauhi dibandingkan dengan
negara maju. Apabila dilihat koefisien gini, negara maju mempunyai nilai yang
lebih kecil dibandingkan dengan negara berkembang.
Masalah Dualisme Pembangunan
Industrialisasi di dunia sangat erat kaitannya dengan
revolusi industri yang terjadi di Inggris pada abad ke-18. Revolusi industri
yang terjadi di negara maju ternyata mendorong negara-negara lain untuk
bereaksi dengan 2 cara. Pertama, berusaha untuk meniru model revolusi industri.
Kedua dengan melakukan kontak dagang. Usaha untuk meniru tersebut banyak
dilakukan oleh negara-negara di kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat. Hal tersebut
menjadi titik tolak mulainya pembagian dunia menjadi negara industri dan nonindustri.
Revolusi industri menyebar dengan cepat di negara-negara yang melakukan revolusi
pertanian khususnya di Eropa Barat dan Amerika Utara, sedangkan di negara
dengan produktivitas pertanian yang rendah, seperti Eropa Tengah dan Eropa
Selatan atau Amerika Latin dan Cina kemajuan industrinya berjalan relatif
lambat.
Teori dualisme Boeke amat populer pada pertengahan 1950-an
karena menerangkan mengapa perekonomian daerah jajahan (Eastern/Colonial
Economy) amat berbeda secara fundamental dengan perekonomian negara-negara
Barat yang berdasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu, Boeke berpendapat
bahwa teori ekonomi konvensional dari Barat jelas tidak dapat diterapkan di
negara-negara Timur. Ia mengusulkan perlunya disusun teori dengan kerangka yang
sama sekali baru. Teori “baru” ini jelas lebih kompleks karena harus
memperhitungkan kondisi dualistik dengan 2 sistem sosial yang berbeda, saling mempengaruhi,
dan saling berbenturan.
Meskipun banyak kritikus Belanda
yang mengkaji seluruh ataupun sebagian teori Boeke bertahun-tahun sejak Perang
Dunia II, namun boleh dikatakan tidak ada pemikiran yang muncul menentang Boeke
(Mackie, 1980). Boeke tetap merupakan ilmuwan yang berpengaruh dari tahun 1929
hingga kematiannya pada tahun 1956. Kritik yang paling gencar terhadap teori
Boeke datang dari Benjamin Higgins (1955). Kritik yang lain datang dari Sadli (1957)
dan Mackie (1980).
Dualisme vs Segmentasi Pasar
Studi yang dilakukan oleh Chris Manning, Hal Hill, Ross
McLeod, dan Howard Dick menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia bukan
dualisme, melainkan mengandung banyak segmentasi pasar. Keempat pakar ini
memberikan kontribusi yang amat berharga terhadap pemahaman mengenai struktur
ekonomi mikro Indonesia.
Studi Hal Hill (1980) agaknya lebih condong mendukung adanya
dualisme teknologi, bukan dualisme sosial, yang dilontarkan oleh Higgins. Hill
menunjukkan relevansi konsep dualisme teknologi dalam industri tenun Indonesia.
Kendati demikian, Hill menunjukkan bahwa konsep dualisme teknologi kurang tepat
diterapkan dalam kasus industri tenun Indonesia. Ia melihat dualisme teknologi
memiliki relevansi untuk industri Indonesia..
Manning mencatat terdapat banyak perbedaan upah dan praktik-praktik
di pasar tenaga kerja di berbagai segmen industri manufaktur Indonesia. Berbeda
dengan dikotomi prakapitalis-kapitalis versi Boeke, ia menekankan yang terjadi
di pasar tenaga kerja bukan dualisme melainkan diferensiasi akibat perbedaan
teknologi.
McLeod mendefinisikan dualisme sebagai koeksistensi yang
berlanjut antara sektor “modern” dan “tradisional” dalam ekonomi domestik NSB.
Dalam sektor keuangan, dualisme finansial terjadi antara pasar uang formal dan
pasar uang informal. McLeod mengidentifikasi perbedaan utama dalam pasar
keuangan sebagai perbedaan harga, perbedaan dalam jenis peminjam, dan perbedaan
dalam lokasi geografis.
Dick menyimpulkan bahwa kondisi dualisme yang tidak berubah
hanyalah ilusi. Ia mencatat adanya 3 gelombang teknologi baru yang melanda
kepulauan Indonesia dalam teknologi alat pelayaran yang mengakibatkan adanya
dualisme teknologi.
Kependudukan dan Pengangguran
Strategi pembangunan berdimensi manusia menawarkan konsep
yang lebih luas dan menyeluruh yang meliputi semua pilihan-pilihan kebutuhan
manusia pada semua tingkatan masyarakat dan semua tahapan pembangunan. Konsep
ini meletakkan pembangunan di sekitar manusia, bukan manusia di sekitar
pembangunan. Elemen penting dari pembangunan manusia adalah tersedianya
pilihan-pilihan bagi masyarakat untuk dapat hidup sehat dan panjang umur,
memperoleh pendidikan, dan memperoleh akses bagi sumber daya yang diperlukan
untuk standar hidup yang layak, dan memperoleh kebebasan politik sebagai warga
negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.
Besarnya investasi suatu negara dalam pembangunan manusia
yang terlihat dalam proporsi pengeluaran publik untuk sektor pendidikan dan
kesehatan dalam anggaran belanja negaranya dapat digunakan untuk mengetahui
sejauh mana sebuah negara memperhatikan pembangunan manusianya.
Pada tahun 2000 penduduk Indonesia berada pada tahap
transisi antara penduduk muda menjadi penduduk tua. Hasil pembangunan di bidang
kependudukan di Indonesia terlihat dari perubahan komposisi penduduk menurut
umur yang tercermin dari semakin rendahnya proporsi penduduk tidak produktif
dan semakin rendahnya angka beban tanggungan.
Proporsi penduduk usia kerja dalam angkatan kerja mengalami
peningkatan pada tahun 1999-2001. TPAK di Indonesia menunjukkan jumlah yang
lebih tinggi di daerah perdesaan dibandingkan di perkotaan karena tingkat
partisipasi sekolah untuk SLTP dan SLTA lebih tinggi di daerah perkotaan.
Wanita dalam Pembangunan
Kesenjangan gender yang terjadi di negara berkembang
disebabkan oleh adanya norma sosial yang mempengaruhi pilihan-pilihan dan
perilaku rumah tangga dan faktor lembaga legal formal yang mempengaruhi
kegiatan ekonominya.
Salah satu indikator integrasi wanita dalam pembangunan
adalah akses terhadap pendidikan dalam hal ini digunakan ukuran tingkat
partisipasi sekolah yang menunjukkan seberapa banyak penduduk usia sekolah yang
telah memanfaatkan fasilitas pendidikan yang ada. Perbandingan antara indeks
pembangunan yang berhubungan dengan gender (GDI) dan indeks pembangunan manusia
(HDI) dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kesenjangan gender (gender
disparity) di suatu daerah.
Migrasi
Urbanisasi secara luas didefinisikan dengan perpindahan
penduduk desa yang menuju kota sehingga mengakibatkan semakin besarnya proporsi
penduduk yang tinggal di perkotaan. Tingkat urbanisasi di Indonesia cenderung
terus meningkat dari waktu ke waktu. Perkembangan kota yang lebih cepat
mengakibatkan terjadinya urbanisasi yang bersifat prematur. Artinya, urbanisasi
desa kota terjadi sebelum industri di kota mampu berdiri sendiri. Migrasi dari
desa ke kota ini diyakini merupakan faktor utama penyumbang pertumbuhan kota.
Alasan orang untuk melakukan migrasi, menurut Survei Penduduk Antarsensus (SUPAS)
1995 adalah (1) perubahan status perkawinan dan ikut saudara kandung/famili
lain sebesar, (2) karena pekerjaan sebesar, (3) karena pendidikan sebesar, (4)
karena perumahan, dan (5) lain-lain.
Pendatang baru di kota karena tidak memperoleh pekerjaan
mencoba mengadu nasibnya dengan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi kota
sebagai self employment yang akhir akhir ini dikenal sebagai sektor informal.
Posisi dan Kondisi Hutang Dunia
Utang
menjadi fenomena umum bagi negara-negara berkembang. Namun demikian, dalam
kenyataannya negara-negara maju pun juga mempunyai utang luar negeri yang tidak
kalah banyaknya dengan negara dunia ketiga. Salah satu faktor yang membedakan
antara keduanya adalah sering kali negara berkembang tidak mampu mengelola
utang secara profesional. Hal ini menyebabkan utang yang semula digunakan untuk
membiayai pembangunan beralih menjadi beban pembangunan. Secara umum, alasan
mengapa negara berkembang harus berutang adalah tingkat tabungan dalam negeri
yang rendah sehingga harus mencari dana lain untuk membiayai investasi dan minimnya
persediaan devisa untuk mengimpor barang-barang, seperti mesin-mesin pabrik
atau bahan baku. Hal tersebut berkaitan erat dengan Likuiditas Nasional, yaitu
ketersediaan baik mata uang lokal maupun asing untuk kebutuhan pembayaran impor
ataupun membayar utang. Atas dasar inilah muncul konsep Guidotti Rule bahwa
setidaknya negara dapat dikatakan “aman” apabila mempunyai persediaan devisa
yang cukup untuk kebutuhan pembiayaan satu tahun ke depan.
Timbulnya Krisis Utang
Beban utang yang berlebihan apalagi bila dikelola dengan
buruk, dapat menjerumuskan negara ke dalam krisis. Hal ini sudah ditunjukkan
dengan fenomena krisis baik yang terjadi di Amerika Latin maupun di Asia.
Dilihat dari faktor penyebabnya, Faktor penyebabnya bukan semata-mata negara
peminjam tetapi juga disebabkan dari aspek internasional. Misalnya, saja
kekurang hati-hatian bank internasional dalam memberikan dana pinjaman ke
negara berkembang. Sering kali krisis utang disertai dengan pelarian modal ke luar
negeri (capital flight) sehingga makin memperburuk perekonomian negara
tersebut. Capital flight menyebabkan turunnya investasi dalam negeri, yang
berakibat pada rendahnya output nasional. Rendahnya output nasional berakibat
meningkatnya tingkat DSR. Tingginya tingkat DSR menimbulkan adanya spekulasi
yang mendorong adanya modal yang mengalir ke luar negeri. Demikian seterusnya
sehingga proses yang berjalan merupakan vicious circle.
Setidaknya
terdapat lima dampak negatif dari beban utang luar negeri bagi negara tersebut,
yaitu pertama, menimbulkan efek negatif terhadap tingkat tabungan di dalam
negeri (domestic saving rate); kedua, mempertahankan overvalued currency
sehingga mempermudah impor untuk tujuan-tujuan yang tidak produktif; ketiga,
sebagian besar dana utang luar negeri sektor pemerintah dibelanjakan di negara
pemberi utang, bukan di negara penerima utang; keempat, pembayaran cicilan dan
bunga utang luar negeri jelas mengalihkan dana yang dapat digunakan sebagai
investasi domestik; dan kelima, membuat pemerintah negara berkembang pengutang
besar untuk mengintensifkan penerimaan pajak sehingga dapat menyebabkan kondisi
investasi yang tidak kondusif dan pelarian modal ke luar negeri (capital
flight).
Solusi Krisis Utang
Krisis utang di luar negeri tidak saja membuat negara berkembang
menderita, tetapi juga negara dan institusi donor yang selama ini memberi
pinjaman. Mereka kuatir bahwa negara kreditor tidak mampu membayar kembali
utang-utangnya. Pada perkembangannya timbul beberapa solusi krisis ini, di
antaranya pendirian institusi pengelolaan utang, HIPC Initiative, dan Debt for
Nature Swap. Beberapa negara-negara yang termasuk HIPC mendapat pengurangan
utang melalui prakarsa yang disebut HIPC Initiative yang dalam perkembangannya
muncul HIPC Enhanced Initiative. Namun, Indonesia tidak dapat bantuan
pengurangan utang ini karena masih dianggap mampu untuk membayar cicilan utang
dan bunganya. Selanjutnya Indonesia mengajukan program debt for nature swap
kepada beberapa negara kreditor yang tergabung dalam CGI. Hasilnya beberapa negara
menerima dan sebagian menolak. Dalam perkembangannya, konversi utang ini tidak
saja berlaku untuk pembiayaan pelestarian lingkungan, namun juga melebar ke
bidang pendidikan dan kesehatan.
Investasi Luar Negeri
Peranan investasi asing langsung mempunyai
peranan penting bagi perekonomian negara khususnya negara berkembang yang
memiliki stok tabungan yang minim. Namun demikian, survei yang dilakukan oleh
UNCTAD menunjukkan bahwa negara maju pun sebenarnya memerlukan investasi asing.
Hal tersebut dapat dilihat dari aliran FDI yang berasal dari negara maju menuju
ke negara maju lainnya.
Pada umumnya investasi asing dapat berupa FDI atau investasi
portofolio. Perbedaannya adalah FDI lebih bersifat jangka panjang dan biasanya
terjadi transfer teknologi dan manajerial yang dapat diadopsi oleh negara tuan
rumah (host country). Sebaliknya, investasi portofolio bersifat jangka pendek
dan implikasinya adalah modal tersebut dapat bergerak pindah dari suatu negara
ke negara lain (mobilitas ini disebut juga “uang panas”). Oleh karena itu,
suatu negara sangat rentan terhadap keberadaan investasi portofolio ini.
Anggito Abimanyu (1994) dalam studinya mengenai TNC di
Indonesia menyimpulkan beberapa hal yang menarik berdasarkan analisis data
industri tahun 1986-1991 dari Badan Pusat Statistik. Pertama, peningkatan
masuknya TNC ke Indonesia, terutama PMA penuh pada akhir tahun 1980-an, bukan
merupakan industri unggulan, namun justru yang sudah buangan. Kedua, kinerja
TNC umumnya cenderung berorientasi pada pasar dalam negeri meskipun produk yang
dihasilkan memiliki keunggulan komparatif untuk ekspor. Ketiga, TNC cenderung
memanfaatkan tenaga kerja yang relatif terlalu tinggi dan boros karena upah
yang rendah. Dengan kata lain, kondisi upah rendah adalah daya tarik utama masuknya
TNC ke Indonesia.
Perusahaan Transnasional (TNC )
Tidak dapat dipungkiri
bahwa keberadaan TNC di beberapa negara memiliki peranan yang penting dalam
meningkatkan produktivitas ekonomi negara tersebut. Dalam skala global,
besarnya peranan TNC dapat dilihat dari besarnya tenaga kerja yang diserap, jumlah
penjualan di dunia serta aliran FDI yang meningkat dari tahun ke tahun (World
Investment Report 2002). Pada umumnya TNC terkemuka di dunia di dominasi oleh
negara- negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang dan Eropa. Namun, dalam
perkembangannya, terdapat 5 TNC yang berasal dari negara berkembang, seperti
Venezuela (Petroleos de Venezuela) dan Malaysia (Petronas).
Menurut Dicken (1992), peranan TNC dapat dijelaskan (1) TNC
dapat mengendalikan ekonomi di lebih satu negara; (2) kemampuan TNC untuk
memanfaatkan perbedaan geografis antarnegara dan daerah khususnya dalam segi
faktor endowments (termasuk kebijakan pemerintah); (3) kemampuan TNC untuk
memindahkan sumber daya dan operasi lintas lokasi dalam skala global.
Kontribusi TNC bagi host country adalah bertambahnya stok modal, transfer
pengetahuan, dan praktik manajerial dan organisasi.
Dalam perkembangannya, terdapat beberapa pihak yang
menganggap bahwa TNC membawa manfaat positif bagi negara berkembang. Namun, di
lain pihak berargumen bahwa TNC justru lebih membawa dampak negatif daripada
dampak positif bagi suatu negara. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya
pro-kontra bagi keberadaan TNC.
Strategi Pembangunan Industri
Strategi pembangunan industri yang umum digunakan di suatu
negara adalah substitusi impor (inward-looking) dan promosi ekspor
(outward-looking). Strategi substitusi impor identik dengan proteksionisme yang
dilakukan pemerintah untuk melindungi industri yang masih muda agar dapat
bersaing, sedangkan strategi promosi ekspor identik dengan usaha peningkatan
ekspor untuk meningkatkan pendapatan nasional.
Strategi substitusi impor diminati
oleh banyak negara berkembang setidaknya karena 2 alasan berikut. Pertama,
strategi substitusi impor yang pada dasarnya diterapkan untuk memenuhi
permintaan domestik akan barang-barang konsumsi tidak selalu memerlukan teknologi
maju untuk memproduksinya. Kedua, bagian yang paling menarik dari strategi substitusi
impor adalah kemungkinan penghematan devisa melalui penurunan belanja Negara
dalam bentuk valuta asing yang pada gilirannya akan menurunkan defisit
perdagangan.
Keuntungan penerapan strategi promosi ekspor adalah
meningkatnya nilai ekspor sebuah negara yang dapat meningkatkan pemasukan
negara berupa mata uang asing sehingga meningkatkan cadangan devisa. Namun,
penerapan strategi ini berpotensi menyebabkan kenaikan pengeluaran untuk impor
seiring dengan kenaikan pendapatan suatu negara yang pada akhirnya menimbulkan
pengaruh negatif pada neraca perdagangan negara yang bersangkutan.
Kinerja dan Daya Saing Industri
Permasalahan struktural pada industri Indonesia adalah (1)
tingginya tingkat konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik
yang terselubung maupun terang-terangan pada pasar yang diproteksi, (2)
dominasi kelompok bisnis pemburu rente (rent-seeking) ternyata belum
memanfaatkan keunggulan mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial
untuk bersaing di pasar global, (3) lemahnya hubungan intra industri, sebagaimana
ditunjukkan oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu menghubungkan
klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien, (4) struktur industri Indonesia
terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah, (5) masih kakunya
BUMN sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong kemajuan teknologi, (6) investor
asing masih cenderung pada orientasi pasar domestik (inward oriented), dan
sasaran usahanya sebagian besar masih pada pasar yang diproteksi.
Struktur industri Indonesia cenderung oligopolistik karena
(1) adanya proteksi (tata niaga), (2) besarnya modal yang diperlukan untuk
investasi, (3) tingginya teknologi yang digunakan, (4) adanya preferensi
terhadap produk.
Daya
saing negara amat berlainan dengan daya saing perusahaan karena setidaknya 2
alasan (1) dalam realitas, yang bersaing bukan negara, tetapi perusahaan dan industri.
Kebanyakan orang menganalogkan daya saing negara identik dengan daya saing
perusahaan. Apabila negara Indonesia memiliki daya saing, belum tentu seluruh
perusahaan dan industri Indonesia memiliki daya saing di pasar domestik maupun
internasional, (2) mendefinisikan daya saing negara lebih problematik daripada
daya saing perusahaan. Apabila suatu perusahaan tidak dapat membayar gaji
karyawannya, membayar pasokan bahan baku dari para pemasok, dan membagi
dividen, maka perusahaan itu akan bangkrut dan terpaksa ke luar dari bisnis
yang digelutinya. Perusahaan memang bisa bangkrut, namun negara tidak memiliki
bottom line alias tidak akan pernah “ke luar dari arena persaingan”.
Pengembangan Usaha Kecil
Ada 2 definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia.
Pertama, menurut UU No 9 Tahun 1995 adalah kegiatan ekonomi rakyat yang
memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp1 miliar dan memiliki kekayaan
bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp200
juta. Kedua, menurut BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah
pekerjanya, yaitu (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2)
industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja
20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999:
250).
Usaha kecil pada umumnya memiliki karakteristik (1) tidak
adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi, (2)
rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal, (3)
sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan
hukum, (4) dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga
bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan,
minuman dan tembakau, kelompok industri barang galian bukan logam, industri tekstil,
dan industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumah
tangga. Masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri
kecil yang ada.
Perhatian
untuk menumbuhkembangkan industri kecil dan rumah tangga (IKRT)
setidaknya dilandasi oleh 3 alasan,
yaitu (1) IKRT menyerap banyak tenaga kerja, (2) IKRT memegang peranan penting
dalam ekspor nonmigas.